Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata
Ketika kita berdua
Hanya aku yang bisa bertanya
Mungkinkah kau tahu jawabnya
Malam jadi saksinya
Kita berdua diantara kata
Yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian
Untuk datang membawa jawaban
Mungkinkah kita ada kesempatan
Ucapkan janji takkan berpisah selamanya
-Payung Teduh, Berdua Saja-
***
Semesta nampak malu malam ini.
Sisa rintih seharian masih saja menggenangi bahu jalan dan selokan. Namun
gerimis tak bisa menghanyutkan luapan kegembiraannya. Ada suatu hal yang
membuatnya begitu rapi dan necis. Dengan hoodie merah impor ala Gede Bage, tak lupa katsuri-stick yang setia menemani peraduannya.
Moan, yang malam ini tepat berusia
22 tahun. Mahasiswa semester akhir. Ia tak akan pernah mau menyebut semester
ini dengan sebutan semester delapan, karena ia telah berjanji bahwa ini adalah
semester terakhirnya di kampus ini. Tekadnya sudah bulat untuk segera wisuda
dan mengakhiri masa lajangnya. Ternyata orang tuanya adalah pasangan yang terlambat
menikah. Di saat rekanan mereka sudah memulai menimang cucu pertamanya,
bertambah beratlah beban pejuang skripsi ini.
Kisah ini tidak akan terlalu
banyak mendesripsikan fisik, karena bahasan fisik tidak jauh lebih sopan
daripada membicarakan IPK. Jangan bayangkan Moan berparas setampan Freddie
Mercury, tapi lumayan lebih baik lah, jika dibanding dengan Jimi Morfem Multhazam
apalagi saat masih bergabung The Upstairs.
Cukup bayangkan seorang Ahmad Heryawan, 25 tahun lebih muda.
Hari-harinya dihabiskan dengan tarbiah baik secara jamaah maupun dzatiyah. Beberapa
orang menyebutnya sebagai aktivis dakwah
kampus, tapi kami lebih senang menyebutnya dengan panggilan orang kanan, atau kadang orang langit, atau sebutan mulia
lainnya. Tak selayak malam jumat pada umumnya, malam ini ia memilih absen
mengikuti kajian rutin Daruut Tauhiid,
nampaknya bukan Aa Gym yang mengisi kajian malam ini, atau mungkin memang malam
ini terlalu larut untuk dilewatkan begitu saja.
***
Selembar tiket, dilipat menjadi
dua bagian sama besar, tidak lebih besar dari saku jaket yang dipakainya. Perlahan,
roda-roda besi mulai menggerakkan lantai yang ia pijak. Membawanya ke dalam, 11
Jam, 30 menit perjalanan melintasi segala kenangan masa kecilnya.
Kiara Condong, 3 Agustus 2009, jam
tangan tepat menunjuk pukul 5.23. Diantara lalu lalang kesibukan pasar, dan
deretan angkot yang berebut penumpang. Hatinya gusar, lantaran sisa listrik di
ponsel menghambat niatnya untuk menelpon ayah dan bunda. Bersama barisan
budak-budak kantor dan sekelompok manusia berseragam putih abu, Moan berpacu.
Tidak ada yang spesial pagi itu, layaknya senin pada minggu-minggu sebelumnya,
dan senin pada minggu-minggu yang akan datang. Deru mesin dari shaf-shaf
kemacetan, seakan mereka serempak menyanyikan mars I Hate Monday.
Siang nanti, Moan wajib datang ke
kampus barunya, menyerahkan berkas dan beberapa kelengkapan lain, yang tak tau apa
saja lah isinya. Moan, baru saja menyandang predikat sebagai mahasiswa sebuah
institut di kawasan Bandung Selatan. Banyak orang menyebutnya kampus biru,
bukan biru seperti yang diimajinasikan Ashadi Siregar dengan sosok Anton
Rorimpandey nan tampan itu. Tapi memang biru mengidentikan seragam yang akan
Moan pakai paling cepat 4 tahun kedepan. Dan sejatinya kisah ini baru akan di
mulai di kampus ini.
***
belum selesai hingga batas waktu yang tak menentu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar