Rabu, 25 September 2013

X-ceiver : Berangkat


Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata
Ketika kita berdua
Hanya aku yang bisa bertanya
Mungkinkah kau tahu jawabnya

Malam jadi saksinya
Kita berdua diantara kata
Yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian
Untuk datang membawa jawaban

Mungkinkah kita ada kesempatan
Ucapkan janji takkan berpisah selamanya


-Payung Teduh, Berdua Saja-
***

Semesta nampak malu malam ini. Sisa rintih seharian masih saja menggenangi bahu jalan dan selokan. Namun gerimis tak bisa menghanyutkan luapan kegembiraannya. Ada suatu hal yang membuatnya begitu rapi dan necis. Dengan hoodie merah impor ala Gede Bage, tak lupa katsuri-stick yang setia menemani peraduannya.


Moan, yang malam ini tepat berusia 22 tahun. Mahasiswa semester akhir. Ia tak akan pernah mau menyebut semester ini dengan sebutan semester delapan, karena ia telah berjanji bahwa ini adalah semester terakhirnya di kampus ini. Tekadnya sudah bulat untuk segera wisuda dan mengakhiri masa lajangnya. Ternyata orang tuanya adalah pasangan yang terlambat menikah. Di saat rekanan mereka sudah memulai menimang cucu pertamanya, bertambah beratlah beban pejuang skripsi ini.

Kisah ini tidak akan terlalu banyak mendesripsikan fisik, karena bahasan fisik tidak jauh lebih sopan daripada membicarakan IPK. Jangan bayangkan Moan berparas setampan Freddie Mercury, tapi lumayan lebih baik lah, jika dibanding dengan Jimi Morfem Multhazam apalagi saat masih bergabung The Upstairs. Cukup bayangkan seorang Ahmad Heryawan, 25 tahun lebih muda.

Hari-harinya dihabiskan dengan tarbiah baik secara jamaah maupun dzatiyah. Beberapa orang menyebutnya sebagai aktivis dakwah kampus, tapi kami lebih senang menyebutnya dengan panggilan orang kanan, atau kadang orang langit, atau sebutan mulia lainnya. Tak selayak malam jumat pada umumnya, malam ini ia memilih absen mengikuti kajian rutin Daruut Tauhiid, nampaknya bukan Aa Gym yang mengisi kajian malam ini, atau mungkin memang malam ini terlalu larut untuk dilewatkan begitu saja.

***

Selembar tiket, dilipat menjadi dua bagian sama besar, tidak lebih besar dari saku jaket yang dipakainya. Perlahan, roda-roda besi mulai menggerakkan lantai yang ia pijak. Membawanya ke dalam, 11 Jam, 30 menit perjalanan melintasi segala kenangan masa kecilnya.  

Kiara Condong, 3 Agustus 2009, jam tangan tepat menunjuk pukul 5.23. Diantara lalu lalang kesibukan pasar, dan deretan angkot yang berebut penumpang. Hatinya gusar, lantaran sisa listrik di ponsel menghambat niatnya untuk menelpon ayah dan bunda. Bersama barisan budak-budak kantor dan sekelompok manusia berseragam putih abu, Moan berpacu. Tidak ada yang spesial pagi itu, layaknya senin pada minggu-minggu sebelumnya, dan senin pada minggu-minggu yang akan datang. Deru mesin dari shaf-shaf kemacetan, seakan mereka serempak menyanyikan mars I Hate Monday.

Siang nanti, Moan wajib datang ke kampus barunya, menyerahkan berkas dan beberapa kelengkapan lain, yang tak tau apa saja lah isinya. Moan, baru saja menyandang predikat sebagai mahasiswa sebuah institut di kawasan Bandung Selatan. Banyak orang menyebutnya kampus biru, bukan biru seperti yang diimajinasikan Ashadi Siregar dengan sosok Anton Rorimpandey nan tampan itu. Tapi memang biru mengidentikan seragam yang akan Moan pakai paling cepat 4 tahun kedepan. Dan sejatinya kisah ini baru akan di mulai di kampus ini.


***

belum selesai hingga batas waktu yang tak menentu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar