Senin, 22 Desember 2014

Internet and Telco Business Changing - Everyone Become Competitors

“The 2 greatest equalizers in life: Education and the Internet.” Ziad K. Abdelnour, Economic Warfare: Secrets of Wealth Creation in the Age of Welfare Politics

Link Part 1 > TELCO 1.0 – Competitorless

Internet dan konektivitas kini telah menjadi sebuah kebutuhan bagi manusia modern. Saat kita membuka mata di pagi hari, kita akan berusaha untuk segera terkoneksi dengan internet melalui berbagai macam device maupun apikasi. Internet merupakan suatu inovasi terbesar dalam hal teknologi dan komunikasi. Dapat kita rasakan selama satu dekade terakhir ini, bagaimana internet telah merubah planet kita, merubah bagimana kita saling berinteraksi, merubah cara kita berbelanja, merubah berbagai aspek gaya hidup kita, bahkan merubah peta industri secara global, termasuk industri telekomunikasi.

Penyedia konten dan layanan kini telah menjelma menjadi pemain baru di industri telekomunikasi. Hal ini perlahan mulai menggeser karakter vertical-integration ke arah horizontal-integration. Pelanggan kini dengan bebas dapat memilih konten, layanan dan aplikasi yang mereka butuhkan, di luar layanan yang ditawarkan oleh pihak operator. Fenomena ini mengakibatkan ‘market-saturation’, yang berimbas kepada scissors-effect antara revenue-VS-cost pada operator telekomunikasi. 
Operator's Revenues VS Cost

Bagi operator, cost, suatu nilai yang akan terus betambah dari waktu ke waktu. Operator dituntut untuk terus berinvestasi guna mengembangkan jaringan yang dimilikinya. Good customer experience menjadi sesuai yang harus dicapai untuk menjaga pelanggan tidak bermigrasi ke operator lain/competitor.
Di sisi revenue, Value Added Service (VAS) yang merupakan sumber pendapatan operator, kini memiliki banyak produk substitusi yaitu layanan, konten dan aplikasi yang biasa disebut Over The Top (OTT). Over The Top (OTT) hadir bagi end user dengan features yang lebih variatif dan range harga yang beragam, dari yang mahal hingga gratis.

Pergeseran Cara Dalam Berkomunikasi


Layanan pesan singkat (SMS) yang dulu merajai pasar di industry telekomunikasi kini perlahan tergerus oleh kehadiran aplikasi instant massaging sebagai produk substitusi, seperti WhatsApp, Line, Cacao Talk, dan sebagainya. Pada layanan telephony, muncul pemain baru dalam industri telekomunikasi, bahkan dengan feature yang lebih lengkap, Skype misalnya.
Grafik market dan revenue growth yang semakin saturasi, sebagai efek dari semakin ketatnya kompetisi di layer aplikasi/konten, memaksa operator telekomunikasi mencari cara yang berbeda untuk terus memasarkan produk utama mereka (network). Pendekatan binis yang mulai berubah ini dirumuskan sebagai ‘TELCO 2.0 Business Model’ (Yoon 2007)

***

TELCO 2.0 – D.N.A Ecosystem
Venomena internet dan mulai munculnya para pemain OTT ini merubah gambaran bisnis telekomunikasi secara umum. Operator menemukan pasar mereka semakin jenuh akibat kompetisi dan inovasi, sehingga operator harus mencari cara yang berbeda untuk memasarkan produk mereka (bandwidth). Salah satu cara untuk melakukan ini adalah untuk 'bundling-services' atau memberikan beberapa layanan melalui single service delivery platform. Pergeseran nilai terjadi pada katakteristik model bisnis TELCO 1.0 ke arah model bisnis TELCO 2.0.
TELCO 2.0 menyediakan triple-play (voice, data, video) bundling-services. Hal ini merubah cara ber-interaksi antara suppliers dan consumers, governments dan citizens, dan banyak hal lain baik secara personal maupun entreprises. Di sisi operator, TELCO 2.0 merupakan model bisnis untuk industri telekomunikasi yang didasarkan pada 2-sided model (STL Partners 2009a) (Waverman 2007). Operator telekomunikasi dituntut untuk bisa menghadirkan revenue mereka dari kedua sisi, end-user dan OTT-player. Operator telekomunikasi tidak lagi hanya menjalankan bisnisnya sebagai perantara untuk memfasilitasi  antara upstream dan downstream customers saja, tapi operator dituntut untuk memiliki horizontal-intergration control ke semua komponen pada bisnis TELCO 2.0.
Horizontal integrasi pada model bisnis TELCO 2.0 ini menghasilkan sebuah ekosistem baru bagi para pelaku bisnis telekomunikasi, yang biasa disebut dengan ekosistem D-N-A (Device-Network-Application). Ekosistem ini lahir dan tercipta berdasarkan market-demand, dimana user experience satisfaction sangat bergantung dari ketiga komponen D-N-A (Device-Network-Application). Dukungan perangkat yang canggih, jaringan yang kencang dan stabil, dan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan menjadi suatu kesatuan yang wajib disediakan oleh para pemain di bisnis telekomunikasi saat ini.

D.N.A Ecosystem

Operator memiliki aset (seperti infrastruktur, billing system, jaringan) yang dapat mengintegrasikan semua elemen di ekosistem D-N-A. Operator bergerak dari model bisnis TELCO 1.0 yang memiiliki karakteristik one side revenue (suppliers- Operator - pelanggan) menuju model bisnis TELCO 2.0 dengan karakteristik two-sides revenue (ekosistem D-N-A). Model two-sides revenue tersebut digambarkan dalam gambar di atas.
Operator kini menjual jasa dan menerima pendapatan dari upstream maupun downstream customers. Kolaborasi antar elemen dalam bisnis telekomunikasi, baik penyedia device seperti Apple, Samsung, maupun content developer dalam membangun ekosistem DNA menjadi kunci sukses dalam merebut hati pelanggan. Contohnya Samsung yang mengusung high-end device yang didukung oleh Google dengan Andoid sebagai system operasinya, serta berbagai aplikasi yang tersedia di Google-Play sangat memanjakan pelanggannya.
Selain kolaborasi, salah satu cara membangun ekosistem DNA ini adalah dengan ekspansi bisnis. Kita bisa lihat, nama besar Apple sebagai penyedia device, tidak bisa lepas dari dukungan AppStore dengan jutaan aplikasi yang tersedia sesuai kebutuhan pelanggan. Kita juga bisa lihat bagaimana Google, raksasa yang menguasai pasar dengan dukungan google-earth, gmail, youtube dan banyak aplikasi lain, kini mulai mengepakkan bisnisnya ke ranah device dengan mengembangkan system operasi android, bahkan wearable device seperti google glass.
Untuk terus mempertahankan bisnis, sebagai pemain di industri telekomunikasi, membangun ekosistem DNA menjadi suatu kewajiban. Bandingkan dengan Nokia, yang dulu merupakan raksasa device. Nokia selalu menjadi trendsetter dalam hal kecanggihan dan desain hardware ponsel kala itu. Namun Nokia tidak membangun ekosistem DNA ini dengan baik. Tanpa dukungan aplikasi dan konten yang kaya, kini perlahan Nokia ditinggalkan penggunanya.

***

New Phenomena “Friend or Foe”
Seperti yang sudah kita bahas di atas, model bisnis TELCO 2.0 melahirhan ekosostem DNA dimana para pemain didalamnya terintegrasi secara horizontal. Bagi operator, di era yang semakin konvergen ini, OTT-player, software developer, goverment, media, bank, dan banyak lini bisnis lain dapat bertindak sebagai suppliers, customers, maupun competitors.
Kita dapat mengambil contoh relasi antara industri telekomunikasi dengan sektor perbankan. Semua orang pasti sudah tahu apa dan bagaimana fungsi bank. Secara singkat bank adalah tempat menyimpan uang (menabung) dan tempat meminjam uang (kredit). Fungsi bank selain sebagai penghimpun dana masyarakat melalui simpanan juga sebagai penyalur dana kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit, pembelian surat–surat berharga, dan sebagainya.
Perbankan merupakan sebuah industri jasa yang ikut berperan penting di dalam pembangunan dan roda ekonomi suatu negara. Seriring perkembangan teknologi, semakin banyak bidang ilmu yang terlibat di industri perbankan ini termasuk diantaranya telekomunikasi. Layanan telekomunikasi telah lama dimanfaatkan oleh perbankan untuk mensupport bisnisnya. Namun seiring era konvergensi, kondisi ini bisa saja berubah. Favorable atau unfavorable. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Perkembangan inovasi dan kreativitas layanan di sektor perbankan sangat ditrigger oleh perkembangan teknologi. Teknologi dan telekomunikasi sangat membantu sektor perbankan untuk selalu reaktif terhadap perkembangan dan kondisi nasabah dengan tingkat mobilitas yang semakin tinggi. Dengan jaringan yang luas, kemudahan akses, dan harga yang relatif murah, teknologi dan telekomunikasi hadir sebagai solusi efesiensi delivery layanan perbankan. Misalnya layanan SMS banking, mobile banking, telephone banking, dan internet banking.
Telekomunikasi menghadirkan konsep layanan yang lebih efisien bagi industri perbankan. Diantara layanan perbankan yang belakangan banyak dibicarakan dalam kolaborasinya dengan layanan sektor industri telekomunikasi adalah “Branchless Banking” atau perbankan tanpa kantor cabang. Kita dapat membayangkan efisiensi yang terjadi. Secara umum yang layanan disebut ‘Branchless Banking’ memiliki kriteria antara lain:
1.    Tanpa melalui kantor cabang
2.    Menggunakan agen yang bekerja sama dengan bank
3.    Nasabah bisa melakukan transaksi sendiri atau melalui agen
4.    Fitur transaksi yang lebih sederhana
5.    Layanan yang lebih murah
6.    Dapat ditunjukkan khususnya bagi masyarakat segmen bawah atau unbanked

Kriteria Branchless Banking di atas sangat memungkinkan untuk diwujudkan dengan kemajuan teknologi dan telekomunikasi saat ini. Tujuan yang ingin dicapai perbankan adalah memperluas segmen pelanggannya dengan merangkul masyarakat bawah dengan akses yang lebih mudah dan luas melalui uang digital. Berikut salah salah contoh bisnis model untuk Branchless Baking yang dijalankan oleh Easypaisa – Pakistan yang membandingkan antara Conventional Banking dengan Branchless Banking.


Conventional Banking VS Branchless Banking
(sumber: Business Financing Forum)
Dalam menggelar uang digital dikenal tiga konsep yakni Bank Lead, Telco Lead, dan Hybrid. Bank Lead artinya perbankan yang menjadi pemimpin di model bisnis. Dalam model ini bank menjadi pionir melayani masyarakat dengan memanfaatkan dukungan perusahaan telekomunikasi dan agen diperluas, antara lain merchant atau toko. Model ini sukses diterapkan di Brasil. Indikatornya, sistem ini berhasil merangkum 19 juta rekening dalam 4 tahun dengan perputaran dana lebih dari US$ 100 miliar. Semua lapisan masyarakat sudah dapat menikmati jasa dan produk perbankan.

Uang Digital Produk Perbankan
Hal sebaliknya jika Telco Lead. Dalam model ini, perusahaan telekomunikasi bertindak sebagai inisiator karena kemampuan teknologi dan agen penjual pulsa yang sudah tersebar hingga kepelosok.Pada skema ini, posisi bank sebagai pendukung perusahaan telekomunikasi. Kelemahan konsep ini adalah dana nasabah tidak mendapatkan bunga dan tidak dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selain itu, nasabah juga tidak memperoleh kredit. Namun, dengan segala kelemahannya itu, model ini sukses besar ketika diterapkan di Kenya, Afrika. Angka kemiskinan berhasil ditekan.

Uang Digital Produk Operator

Sedangkan Hybrid adalah campuran dari dua model bisnis itu. Kunci sukses dari uang digital adalah edukasi karena itu investasi lebih banyak dialokasikan ke sektor tersebut.
Uang digital ini banyak memberikan keuntungan jika berhasil implementasinya. Pertama dari sisi program financial inclusion bisa meningkatkan jumlah orang yang tersentuh layanan perbankan. Kedua, bagi operator ini bisa mendapatkan pelanggan berkualitas karena registrasi lebih tertib dan Average Revenue Per user (ARPU) naik.
Pada implementasi branchless banking ini, membuka peluang-peluang bisnis baru bagi banyak pihak, antara lain:
Bank, dimana kesempatan untuk mengeluarkan produk-produk perbankan yang lebih luas, fleksible, murah, dan mudah.
Penyedia Layanan Perbankan (Vendor/OTT/Developer), dimana bank biasanya bekerjasama dengan vendor untuk pengadaan dan pengembangan system mobile, baik berupa EDC, aplikasi pada ponsel, dll.
Agent, dimana agent yang dapat memberikan layanan kepada nasabah, mendapatkan sharing fee atau komisi dari bank.
Operator Telco, karena umumnya layanan dari branchless banking ini menggunakan jalur komunikasi dari operator telco, maka ekspansi dari layanan operator tersebut menjadi lebih luas
Tapi, dimanakah sebenarnya para operator telekomunikasi saat ini seharusnya "memposisikan diri"? Para Operator sudah semestinya menjadi partner strategis bagi dunia perbankan.
Bayangkan 100 tahun industri perbankan berkiprah di indonesia, jumlah nasabah nya saat ini masih hanya berkisar 60jt nasabah. Bandingkan dengan industri telekomunikasi yang dalam waktu hanya kurang dari 20 tahun berkiprah, sudah lebih dari 200jt pengguna layanan ponsel. Bisa dibayangkan apabila semua operator digandeng oleh industri perbankan.
Lonjakan nasabah tentu akan menjadi lonjakan revenue bagi industri telekomunikasi. Hal yang perlu dihindari adalah dimana operator telco dan institusi bank saling berkompetisi dalam pengembangan layanan perbankan, karena pasti bank lebih mengerti akan dunianya dan operator telekomunikasi yang support melalui teknologi dan service-nya.

***

Be A Friend To Collaborate
Teknologi baru akan membuka lebih banyak kesempatan berusaha termasuk bagi pengusaha kecil, menengah dan koperasi untuk menjadi penyedia layanan. Hal ini juga akan membuka peluang bagi pelaku usaha nasional maupun internasional untuk membangun bersama layanan teknologi informasi dan telekomunikasi di Indonesia. Untuk menjadi operator penyedia layanan tidak perlu syarat seperti dulu sebab tidak diperlukan investasi yang besar. Secara tidak lansung, akan terjadi transformasi struktur pasar dari monopoli ke kompetisi. Akan muncul kompetitor-kompetitor baru di semua lini bisnis.
Pembangunan jaringan dan layanan di masa mendatang akan lebih mudah dan murah karena munculnya beragam perangkat keras, perangkat lunak yang sederhana dengan kemampuan tinggi. Pertumbuhan layanan dan konten yang menjadi faktor penting di masa depan. Layanan baru dapat dibawa ke pasar (time to market) lebih cepat dan lebih murah. Akan terjadi perubahan dari single access menjadi multiple services. Biaya akan menjadi lebih murah karena fungsi kepintaran jaringan dipindahkan dari core network ke access. Success-key dari fenomena bisnis di era konvergensi ini ada lah kolaborasi antara pelaku di dunia ekonomi digital.

User Generated Content
Apakah anda familiar dengan situs-situs seperti gantibaju.com, nulisbuku.com, berniaga.com, atau situs yang lebih populer lagi seperti Kaskus, Blogspot, Youtube. Saya yakin hampir semua dari anda familiar dengan situs-situs tersebut. Apa yang anda pikirkan tentang situs-situs tersebut?  Situs yang sangat umum digunakan oleh internet user saat ini, dengan konten sesuai kebutuhan, sangat menarik dan update.
Pertanyaannya, apakah para pemilik atau founder situs-situs tersebut memproduksi sendiri konten yang jumlahnya sangat besar dan beraneka ragam itu? Jawabannya, hampir tidak sama sekali. Mereka (pemilik/founder) hanya menyediakan suatu platform web atau semacam aplikasi berbasis web dengan fungsi tertentu, kemudian selanjutnya para pengunjung atau user bisa sign up/sign in dan mengupload content mereka sendiri baik itu dalam bentuk teks, gambar, foto, audio maupun video. Content dari para pengguna itulah yang menjadi isi utama situs-situs tersebut.
Bagi end user, kita tidak perlu melamar ke Gantibaju.com untuk dapat menjadi seorang designer di dalamnya, kita tidak perlu jadi seorang reporter untuk bisa menulis di Kompasiana, bahkan kita tidak perlu menyewa gerai/ ruko, cukup pasang saja iklan barang/ jasa kita di situs Onlie-Shop seperti Berniaga.com atau OLX. Sedangkan bagi penyedia situs aplikasi, Youtube misalnya, mereka tidak perlu shooting, editing, remix untuk bisa menyediakan video bagi pelanggannya, ribuan videoclip tersedia di Youtube secara cuma-cuma. Youtube tinggal memantau jumlah viewer dan rate dari sebuah video, dan mereka dapat menentukan harga setiap iklan yang disisipkan di video tersebut.

User Generated Content Model
Fenomena menarik inilah yang dinamakan dengan istilah User Generated Content. User Generated Content (UCG) adalah berbagai jenis content yang tersedia secara publik dan diproduksi oleh para end-user (Wikipedia.org). Kunci utama dalam User Generated Content adalah sebuah participatory atau partisipasi. Para founder situs-situs di atas pasti berfikir, bagaimana agar jutaan pengguna internet tertarik untuk masuk dan berpartisipasi. Manfaat aplikasi web yang menarik, kemudahan penggunaan, interface yang nyaman, layanan terjamin, knowledge sharing mungkin bisa membuat pengguna tertarik untuk mencoba dan berpartisipasi di dalamnya.
Pengertian UGC (user generated content) sebenarnya cukup sederhana, yaitu konten yang dihasilkan dari user atau penggunanya sendiri. Babak ini sudah lama dimulai, situs-situs yang populer kini pun banyak mengandalkan UGC untuk selalu menjadi situs yang update. Penyedia situs hanya membuat perbaikan atau perubahan yang dianggap perlu saja. Sementara update informasi dan segala interaksi di dalam situs tersebut justru berasal dari partisipasi aktif para penggunanya, sehingga orang selalu dan terus-menerus tertarik untuk mengunjungi situs tersebut.
Istilah ini sebenarnya mulai terdengar sekitar tahun 2005 saat orang bisa mengakses atau meng-update media dan publikasi melalui teknologi baru seperti video digital, blogging, foto dari smartphone. Para pengguna situs mulai bisa meng-upload, mengembangkan, dan bahkan mengendalikan sendiri konten sesuai kehendak mereka.

  

“Tweeps Budiman, memangnya kalau internetnya cepat mau dipakai buat apa?”  @tifsembiring – Menkominfo 2009-2014
Anda pasti ingat, pertanyaan yang diutarakan oleh Tifatul Sembiring beberapa saat yang lalu. Pertanyaan ini langsung mendapat kecaman dari internet-user se-antero Indonesia. Namun sebagai insan telekomunikasi, pernyataan tersebut patut untuk direnungkan dan dicari jawabannya.

***

Measuring Mobilephone Penetration
Jumlah mobilephone subscriber di seluruh dunia, berasarkan data Januari 2014 yang dirilis oleh wearesocial.sg, telah mencapai angka 6,5 miliar pengguna. Jika dibandingkan dengan total populasi manusia di dunia, yaitu sekitar 7,1 miliar, dapat disimpulkan penetrasi mobilephone di dunia berada di sekitar angka 93%. Sedangkan prediksi pertumbuhan jumlah mobilephone subscriber oleh GSMA-Intelligence di akhir tahun 2014 sebesar 7,2 miliar subscriber. Artinya pada akhir 2014, angka penetrasi mobilephone subscriber akan lebih besar dari 100%, dengan kata lain jumlah populasi mobilephone subscriber akan melebihi total populasi manusia di dunia.
Sedangkan di Indonesia sendiri, dari total 251 juta jiwa populasi penduduk Indonesia, tercatat sekitar 282 juta mobilephone subscriber yang terdaftar pada Januari 2014. Jika dihitung maka penetrasi mobilephone subscriber di Indonesia ada di angka 112%. 

Mobilephone Penetration Index

Memang pengukuran di atas berdasarkan jumlah mobile connections - yaitu cara tradisional yang digunakan dalam industri telekomunikasi untuk mengukur market size dan penetrasinya berdasarkan jumlah SIM card yang terdaftar. Dalam realalitanya jumlah mobilephone subscriber tidak sebesar itu, karena faktanya, banyak ditemui user yang sama, terdaftar sebagai pengguna beberapa SIM Card sekaligus, atau biasa disebut dengan unique mobilephone subscriber. Namun nilai penetrasi mobilephone subscriber, secara umum, dapat diartikan bahwa setiap orang di Indonesia bahkan di dunia, telah menjadi pengguna telepon seluler.
Jika rasio antara jumlah mobilephone subscriber (SIM card yang beredar) dibanding jumlah populasi telah mencapai nilai 1:1, bagi operator ini menandakan akan terjadinya fenomena  market saturation. Lalu kepada siapa lagi operator harus menjual SIM card mereka?

***

M2M – The Future Market
Kebutuhanakan konektivitas kini tidak hanya dimiliki oleh manusia sebagai end-user, tapi konektivitas telah menjadi kebutuhan antar perangkat atau mesin untuk saling berkomunikasi satu sama lain.
Pada tahun 2020, akan ada 50 miliar perangkat yang saling terkoneksi kapanpun dan dimanapun, terhubung secara real time. Fenomena ini akan merubah cara kita dalam berinovasi, berkolaborasi, produksi, pemerintahan, dan banyak hal lain. Akan ada metode baru dalam bekerja sama, sharing, dan mendapatkan informasi. Dan cara-cara inovatif dalam melakukan bisnis akan menciptakan efisiensi di segala sektor, yang berada di luar imajinasi seseorang hari ini.

Di satu sisi kita telah dapati bahwa penetrasi mobilephone subscriber telah lebih besar dibanding total jumlah populasi manusia. Di sisi lain konektivitas antar perangkat atau mesin kini telah menjadi kebutuhan yag harus dilayani. Dua hal ini memacu operator telekomunikasi untuk terus ber-inovasi. Machine to Machine Communication (M2M) kini menjadi segmen pasar baru. 


Ditulis nya sudah lama, tapi baru inget dan di-publish pagi ini (22 Des 14)
sambil nunggu si mapinfo ngeload engpar trial LTE..
Salam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar