“The 2 greatest equalizers in life: Education and the Internet.” Ziad K. Abdelnour, Economic Warfare: Secrets of Wealth Creation in the Age of Welfare Politics
Link Part 1 > TELCO 1.0 – Competitorless
Internet
dan konektivitas kini telah menjadi sebuah kebutuhan bagi manusia modern. Saat
kita membuka mata di pagi hari, kita akan berusaha untuk segera terkoneksi
dengan internet melalui berbagai macam device
maupun apikasi. Internet merupakan suatu inovasi terbesar dalam hal teknologi
dan komunikasi. Dapat kita rasakan selama satu dekade terakhir ini, bagaimana
internet telah merubah planet kita, merubah bagimana kita saling berinteraksi,
merubah cara kita berbelanja, merubah berbagai aspek gaya hidup kita, bahkan
merubah peta industri secara global, termasuk industri telekomunikasi.
Penyedia konten dan layanan kini telah menjelma menjadi pemain baru di industri telekomunikasi. Hal ini perlahan mulai menggeser karakter vertical-integration ke arah horizontal-integration. Pelanggan kini dengan bebas dapat memilih konten, layanan dan aplikasi yang mereka butuhkan, di luar layanan yang ditawarkan oleh pihak operator. Fenomena ini mengakibatkan ‘market-saturation’, yang berimbas kepada scissors-effect antara revenue-VS-cost pada operator telekomunikasi.
Operator's
Revenues VS Cost
|
Bagi
operator, cost, suatu nilai yang akan terus betambah dari waktu ke waktu. Operator
dituntut untuk terus berinvestasi guna mengembangkan jaringan yang dimilikinya.
Good customer experience menjadi
sesuai yang harus dicapai untuk menjaga pelanggan tidak bermigrasi ke operator
lain/competitor.
Di
sisi revenue, Value Added Service (VAS) yang merupakan sumber pendapatan
operator, kini memiliki banyak produk substitusi yaitu layanan, konten dan aplikasi yang biasa disebut Over The Top (OTT). Over The
Top (OTT) hadir bagi end user dengan features
yang lebih variatif dan range
harga yang beragam, dari yang mahal hingga gratis.
Pergeseran
Cara Dalam Berkomunikasi
|
Layanan
pesan singkat (SMS) yang dulu merajai pasar di industry telekomunikasi kini
perlahan tergerus oleh kehadiran aplikasi instant
massaging sebagai produk substitusi,
seperti WhatsApp, Line, Cacao Talk, dan sebagainya. Pada layanan telephony, muncul pemain baru dalam
industri telekomunikasi, bahkan dengan feature
yang lebih lengkap, Skype misalnya.
Grafik market dan revenue growth yang semakin saturasi, sebagai
efek dari semakin ketatnya kompetisi di layer aplikasi/konten, memaksa operator
telekomunikasi mencari cara yang berbeda untuk terus memasarkan produk utama
mereka (network). Pendekatan binis yang mulai berubah ini dirumuskan sebagai
‘TELCO 2.0 Business Model’ (Yoon 2007)
***
TELCO 2.0 –
D.N.A Ecosystem
Venomena
internet dan mulai munculnya para pemain OTT ini merubah gambaran bisnis
telekomunikasi secara umum. Operator
menemukan pasar mereka semakin jenuh akibat kompetisi dan inovasi, sehingga operator harus mencari cara yang
berbeda untuk memasarkan produk mereka (bandwidth). Salah
satu cara untuk melakukan ini adalah untuk 'bundling-services' atau
memberikan beberapa layanan melalui single
service delivery platform. Pergeseran
nilai terjadi pada katakteristik model bisnis TELCO 1.0 ke arah model bisnis
TELCO 2.0.
TELCO 2.0 menyediakan triple-play (voice, data, video) bundling-services. Hal ini merubah cara
ber-interaksi antara suppliers dan consumers, governments dan citizens,
dan banyak hal lain baik secara personal maupun entreprises. Di sisi operator, TELCO 2.0
merupakan model bisnis untuk industri telekomunikasi yang didasarkan pada 2-sided model (STL Partners 2009a)
(Waverman 2007). Operator telekomunikasi dituntut untuk bisa menghadirkan revenue
mereka dari kedua sisi, end-user dan
OTT-player. Operator telekomunikasi tidak lagi hanya menjalankan bisnisnya
sebagai perantara untuk memfasilitasi
antara upstream dan downstream customers saja, tapi operator
dituntut untuk memiliki horizontal-intergration
control ke semua komponen pada bisnis TELCO
2.0.
Horizontal
integrasi pada model bisnis TELCO 2.0 ini menghasilkan sebuah ekosistem baru
bagi para pelaku bisnis telekomunikasi, yang biasa disebut dengan ekosistem
D-N-A (Device-Network-Application). Ekosistem ini lahir dan tercipta
berdasarkan market-demand, dimana user experience satisfaction sangat
bergantung dari ketiga komponen D-N-A (Device-Network-Application). Dukungan
perangkat yang canggih, jaringan yang kencang dan stabil, dan aplikasi yang
sesuai dengan kebutuhan menjadi suatu kesatuan yang wajib disediakan oleh para
pemain di bisnis telekomunikasi saat ini.
D.N.A
Ecosystem
|
Operator memiliki aset (seperti
infrastruktur, billing system, jaringan) yang dapat mengintegrasikan semua elemen di ekosistem D-N-A.
Operator bergerak dari model bisnis TELCO 1.0 yang memiiliki karakteristik one side revenue (suppliers- Operator - pelanggan) menuju model bisnis TELCO 2.0 dengan karakteristik two-sides revenue (ekosistem D-N-A). Model two-sides revenue
tersebut digambarkan dalam gambar di atas.
Operator kini menjual jasa dan menerima
pendapatan dari upstream maupun downstream customers.
Kolaborasi antar elemen dalam bisnis telekomunikasi, baik penyedia device seperti
Apple, Samsung, maupun content developer
dalam membangun ekosistem DNA menjadi kunci sukses dalam merebut hati
pelanggan. Contohnya Samsung yang mengusung high-end
device yang didukung oleh Google dengan Andoid sebagai system operasinya,
serta berbagai aplikasi yang tersedia di Google-Play sangat memanjakan
pelanggannya.
Selain
kolaborasi, salah satu cara membangun ekosistem DNA ini adalah dengan ekspansi
bisnis. Kita bisa lihat, nama besar Apple sebagai penyedia device, tidak bisa lepas dari dukungan AppStore dengan jutaan
aplikasi yang tersedia sesuai kebutuhan pelanggan. Kita juga bisa lihat
bagaimana Google, raksasa yang menguasai pasar dengan dukungan google-earth,
gmail, youtube dan banyak aplikasi lain, kini mulai mengepakkan bisnisnya ke
ranah device dengan mengembangkan
system operasi android, bahkan wearable
device seperti google glass.
Untuk
terus mempertahankan bisnis, sebagai pemain di industri telekomunikasi,
membangun ekosistem DNA menjadi suatu kewajiban. Bandingkan dengan Nokia, yang
dulu merupakan raksasa device. Nokia
selalu menjadi trendsetter dalam hal
kecanggihan dan desain hardware ponsel kala itu. Namun Nokia tidak membangun
ekosistem DNA ini dengan baik. Tanpa dukungan aplikasi dan konten yang kaya,
kini perlahan Nokia ditinggalkan penggunanya.
***
New Phenomena “Friend
or Foe”
Seperti yang sudah kita bahas di atas, model bisnis TELCO
2.0 melahirhan ekosostem DNA dimana para pemain didalamnya terintegrasi secara
horizontal. Bagi operator, di era yang semakin konvergen ini, OTT-player, software developer, goverment, media, bank, dan banyak lini bisnis lain
dapat bertindak sebagai suppliers, customers, maupun competitors.
Kita dapat mengambil contoh relasi antara industri
telekomunikasi dengan sektor perbankan. Semua orang pasti sudah tahu apa dan
bagaimana fungsi bank. Secara singkat bank adalah tempat menyimpan uang (menabung)
dan tempat meminjam uang (kredit). Fungsi bank selain sebagai penghimpun dana
masyarakat melalui simpanan juga sebagai penyalur dana kembali kepada
masyarakat dalam bentuk kredit, pembelian surat–surat berharga, dan sebagainya.
Perbankan merupakan sebuah industri jasa yang ikut berperan
penting di dalam pembangunan dan roda ekonomi suatu negara. Seriring
perkembangan teknologi, semakin banyak bidang ilmu yang terlibat di industri
perbankan ini termasuk diantaranya telekomunikasi. Layanan telekomunikasi telah
lama dimanfaatkan oleh perbankan untuk mensupport bisnisnya. Namun seiring era
konvergensi, kondisi ini bisa saja berubah. Favorable
atau unfavorable. Bagaimana hal itu
bisa terjadi?
Perkembangan inovasi dan kreativitas layanan di sektor
perbankan sangat ditrigger oleh
perkembangan teknologi. Teknologi dan telekomunikasi sangat membantu sektor
perbankan untuk selalu reaktif terhadap perkembangan dan kondisi nasabah dengan
tingkat mobilitas yang semakin tinggi. Dengan jaringan yang luas, kemudahan
akses, dan harga yang relatif murah, teknologi dan telekomunikasi hadir sebagai
solusi efesiensi delivery layanan perbankan. Misalnya layanan SMS banking,
mobile banking, telephone banking, dan internet banking.
Telekomunikasi menghadirkan konsep layanan yang lebih
efisien bagi industri perbankan. Diantara layanan perbankan yang belakangan
banyak dibicarakan dalam kolaborasinya dengan layanan sektor industri
telekomunikasi adalah “Branchless Banking” atau perbankan tanpa kantor cabang.
Kita dapat membayangkan efisiensi yang terjadi. Secara umum yang layanan
disebut ‘Branchless Banking’ memiliki
kriteria antara lain:
1.
Tanpa melalui kantor cabang
2.
Menggunakan agen yang bekerja sama dengan bank
3.
Nasabah bisa melakukan transaksi sendiri atau melalui
agen
4.
Fitur transaksi yang lebih sederhana
5.
Layanan yang lebih murah
6.
Dapat ditunjukkan khususnya bagi masyarakat segmen bawah
atau unbanked
Kriteria Branchless
Banking di atas sangat memungkinkan untuk diwujudkan dengan kemajuan
teknologi dan telekomunikasi saat ini. Tujuan yang ingin dicapai perbankan
adalah memperluas segmen pelanggannya dengan merangkul masyarakat bawah dengan
akses yang lebih mudah dan luas melalui uang digital. Berikut salah salah
contoh bisnis model untuk Branchless Baking yang dijalankan oleh Easypaisa –
Pakistan yang membandingkan antara Conventional Banking dengan Branchless
Banking.
Conventional
Banking VS Branchless Banking
(sumber: Business Financing Forum)
|
Dalam menggelar uang digital dikenal tiga konsep yakni
Bank Lead, Telco Lead, dan Hybrid. Bank Lead artinya perbankan yang menjadi
pemimpin di model bisnis. Dalam model ini bank menjadi pionir melayani
masyarakat dengan memanfaatkan dukungan perusahaan telekomunikasi dan agen
diperluas, antara lain merchant atau toko. Model ini sukses diterapkan di
Brasil. Indikatornya, sistem ini berhasil merangkum 19 juta rekening dalam 4
tahun dengan perputaran dana lebih dari US$ 100 miliar. Semua lapisan
masyarakat sudah dapat menikmati jasa dan produk perbankan.
Uang Digital Produk Perbankan
|
Hal sebaliknya jika Telco Lead. Dalam
model ini, perusahaan telekomunikasi bertindak sebagai inisiator karena
kemampuan teknologi dan agen penjual pulsa yang sudah tersebar hingga
kepelosok.Pada skema ini, posisi bank sebagai pendukung perusahaan
telekomunikasi. Kelemahan konsep ini adalah dana nasabah tidak mendapatkan
bunga dan tidak dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selain itu, nasabah
juga tidak memperoleh kredit. Namun, dengan segala kelemahannya itu, model ini
sukses besar ketika diterapkan di Kenya, Afrika. Angka kemiskinan berhasil
ditekan.
Uang Digital Produk Operator
|
Sedangkan Hybrid adalah campuran dari dua model bisnis
itu. Kunci sukses dari uang digital adalah edukasi karena itu investasi lebih
banyak dialokasikan ke sektor tersebut.
Uang digital ini banyak memberikan keuntungan jika berhasil implementasinya. Pertama dari sisi program financial inclusion bisa meningkatkan jumlah orang yang tersentuh layanan perbankan. Kedua, bagi operator ini bisa mendapatkan pelanggan berkualitas karena registrasi lebih tertib dan Average Revenue Per user (ARPU) naik.
Uang digital ini banyak memberikan keuntungan jika berhasil implementasinya. Pertama dari sisi program financial inclusion bisa meningkatkan jumlah orang yang tersentuh layanan perbankan. Kedua, bagi operator ini bisa mendapatkan pelanggan berkualitas karena registrasi lebih tertib dan Average Revenue Per user (ARPU) naik.
Pada implementasi branchless
banking ini, membuka peluang-peluang bisnis baru bagi banyak pihak, antara
lain:
Bank, dimana kesempatan untuk mengeluarkan produk-produk
perbankan yang lebih luas, fleksible, murah, dan mudah.
Penyedia Layanan
Perbankan (Vendor/OTT/Developer), dimana
bank biasanya bekerjasama dengan vendor untuk pengadaan dan pengembangan system
mobile, baik berupa EDC, aplikasi pada ponsel, dll.
Agent, dimana agent yang dapat memberikan layanan kepada
nasabah, mendapatkan sharing fee atau komisi dari bank.
Operator Telco, karena umumnya layanan dari branchless banking ini
menggunakan jalur komunikasi dari operator telco, maka ekspansi dari layanan
operator tersebut menjadi lebih luas
Tapi, dimanakah sebenarnya para
operator telekomunikasi saat ini seharusnya "memposisikan diri"? Para Operator sudah semestinya menjadi
partner strategis bagi dunia perbankan.
Bayangkan 100 tahun industri perbankan berkiprah di indonesia, jumlah nasabah nya saat ini masih hanya berkisar 60jt nasabah. Bandingkan dengan industri telekomunikasi yang dalam waktu hanya kurang dari 20 tahun berkiprah, sudah lebih dari 200jt pengguna layanan ponsel. Bisa dibayangkan apabila semua operator digandeng oleh industri perbankan.
Lonjakan nasabah tentu akan menjadi lonjakan revenue bagi industri telekomunikasi. Hal yang perlu dihindari adalah dimana operator telco dan institusi bank saling berkompetisi dalam pengembangan layanan perbankan, karena pasti bank lebih mengerti akan dunianya dan operator telekomunikasi yang support melalui teknologi dan service-nya.
Bayangkan 100 tahun industri perbankan berkiprah di indonesia, jumlah nasabah nya saat ini masih hanya berkisar 60jt nasabah. Bandingkan dengan industri telekomunikasi yang dalam waktu hanya kurang dari 20 tahun berkiprah, sudah lebih dari 200jt pengguna layanan ponsel. Bisa dibayangkan apabila semua operator digandeng oleh industri perbankan.
Lonjakan nasabah tentu akan menjadi lonjakan revenue bagi industri telekomunikasi. Hal yang perlu dihindari adalah dimana operator telco dan institusi bank saling berkompetisi dalam pengembangan layanan perbankan, karena pasti bank lebih mengerti akan dunianya dan operator telekomunikasi yang support melalui teknologi dan service-nya.
***
Be A Friend To
Collaborate
Teknologi baru akan membuka lebih banyak kesempatan
berusaha termasuk bagi pengusaha kecil, menengah dan koperasi untuk menjadi
penyedia layanan. Hal ini juga akan membuka peluang bagi pelaku usaha nasional
maupun internasional untuk membangun bersama layanan teknologi informasi dan
telekomunikasi di Indonesia. Untuk menjadi operator penyedia layanan tidak
perlu syarat seperti dulu sebab tidak diperlukan investasi yang besar. Secara
tidak lansung, akan terjadi transformasi struktur pasar dari monopoli ke
kompetisi. Akan muncul kompetitor-kompetitor baru di semua lini bisnis.
Pembangunan jaringan dan layanan di masa mendatang akan
lebih mudah dan murah karena munculnya beragam perangkat keras, perangkat lunak
yang sederhana dengan kemampuan tinggi. Pertumbuhan layanan dan konten yang
menjadi faktor penting di masa depan. Layanan baru dapat dibawa ke pasar (time
to market) lebih cepat dan lebih murah. Akan terjadi perubahan dari single
access menjadi multiple services. Biaya akan menjadi lebih murah karena fungsi
kepintaran jaringan dipindahkan dari core network ke access. Success-key dari fenomena bisnis di era
konvergensi ini ada lah kolaborasi antara pelaku di dunia ekonomi digital.
User Generated Content
Apakah anda familiar dengan situs-situs seperti
gantibaju.com, nulisbuku.com, berniaga.com, atau situs yang lebih populer lagi
seperti Kaskus, Blogspot, Youtube. Saya yakin hampir semua dari anda familiar
dengan situs-situs tersebut. Apa yang anda pikirkan tentang situs-situs
tersebut? Situs yang sangat umum digunakan
oleh internet user saat ini, dengan konten sesuai kebutuhan, sangat menarik dan
update.
Pertanyaannya, apakah para pemilik atau founder
situs-situs tersebut memproduksi sendiri konten yang jumlahnya sangat besar dan
beraneka ragam itu? Jawabannya, hampir tidak sama sekali. Mereka (pemilik/founder)
hanya menyediakan suatu platform web atau semacam aplikasi berbasis web dengan
fungsi tertentu, kemudian selanjutnya para pengunjung atau user bisa sign
up/sign in dan mengupload content mereka sendiri baik itu dalam bentuk teks,
gambar, foto, audio maupun video. Content dari para pengguna itulah yang
menjadi isi utama situs-situs tersebut.
Bagi end user, kita tidak perlu melamar ke Gantibaju.com
untuk dapat menjadi seorang designer di dalamnya, kita tidak perlu jadi seorang
reporter untuk bisa menulis di Kompasiana, bahkan kita tidak perlu menyewa
gerai/ ruko, cukup pasang saja iklan barang/ jasa kita di situs Onlie-Shop
seperti Berniaga.com atau OLX. Sedangkan bagi penyedia situs aplikasi, Youtube
misalnya, mereka tidak perlu shooting, editing, remix untuk bisa menyediakan
video bagi pelanggannya, ribuan videoclip tersedia di Youtube secara cuma-cuma.
Youtube tinggal memantau jumlah viewer dan rate dari sebuah video, dan mereka
dapat menentukan harga setiap iklan yang disisipkan di video tersebut.
User Generated Content Model |
Fenomena menarik inilah yang dinamakan dengan istilah
User Generated Content. User Generated Content (UCG) adalah berbagai jenis
content yang tersedia secara publik dan diproduksi oleh para end-user
(Wikipedia.org). Kunci utama dalam User Generated Content adalah sebuah
participatory atau partisipasi. Para founder situs-situs di atas pasti
berfikir, bagaimana agar jutaan pengguna internet tertarik untuk masuk dan
berpartisipasi. Manfaat aplikasi web yang menarik, kemudahan penggunaan,
interface yang nyaman, layanan terjamin, knowledge sharing mungkin bisa membuat
pengguna tertarik untuk mencoba dan berpartisipasi di dalamnya.
Pengertian UGC (user generated content) sebenarnya cukup sederhana,
yaitu konten yang dihasilkan dari user atau penggunanya sendiri. Babak ini
sudah lama dimulai, situs-situs yang populer kini pun banyak mengandalkan UGC
untuk selalu menjadi situs yang update. Penyedia situs hanya membuat perbaikan
atau perubahan yang dianggap perlu saja. Sementara update informasi dan segala
interaksi di dalam situs tersebut justru berasal dari partisipasi aktif para
penggunanya, sehingga orang selalu dan terus-menerus tertarik untuk mengunjungi
situs tersebut.
Istilah ini sebenarnya mulai terdengar sekitar tahun 2005
saat orang bisa mengakses atau meng-update media dan publikasi melalui
teknologi baru seperti video digital, blogging, foto dari smartphone. Para
pengguna situs mulai bisa meng-upload, mengembangkan, dan bahkan mengendalikan
sendiri konten sesuai kehendak mereka.
“Tweeps Budiman, memangnya kalau internetnya cepat mau dipakai buat apa?” @tifsembiring – Menkominfo 2009-2014
Anda pasti ingat, pertanyaan yang diutarakan oleh Tifatul
Sembiring beberapa saat yang lalu. Pertanyaan ini langsung mendapat kecaman
dari internet-user se-antero Indonesia. Namun sebagai insan telekomunikasi,
pernyataan tersebut patut untuk direnungkan dan dicari jawabannya.
***
Measuring Mobilephone
Penetration
Jumlah
mobilephone subscriber di seluruh
dunia, berasarkan data Januari 2014 yang dirilis oleh wearesocial.sg, telah
mencapai angka 6,5 miliar pengguna. Jika dibandingkan dengan total populasi
manusia di dunia, yaitu sekitar 7,1 miliar, dapat disimpulkan penetrasi mobilephone di dunia berada di sekitar
angka 93%. Sedangkan prediksi pertumbuhan jumlah mobilephone subscriber oleh GSMA-Intelligence di akhir tahun 2014
sebesar 7,2 miliar subscriber. Artinya
pada akhir 2014, angka penetrasi mobilephone
subscriber akan lebih besar dari 100%, dengan kata lain jumlah populasi mobilephone subscriber akan melebihi
total populasi manusia di dunia.
Sedangkan
di Indonesia sendiri, dari total 251 juta jiwa populasi penduduk Indonesia,
tercatat sekitar 282 juta mobilephone
subscriber yang terdaftar pada Januari 2014. Jika dihitung maka penetrasi mobilephone subscriber di Indonesia ada
di angka 112%.
Mobilephone
Penetration Index
|
Memang
pengukuran di atas berdasarkan jumlah mobile
connections - yaitu cara tradisional yang digunakan dalam industri
telekomunikasi untuk mengukur market size
dan penetrasinya berdasarkan jumlah SIM card yang terdaftar. Dalam realalitanya
jumlah mobilephone subscriber tidak
sebesar itu, karena faktanya, banyak ditemui user yang sama, terdaftar sebagai
pengguna beberapa SIM Card sekaligus, atau biasa disebut dengan unique mobilephone subscriber. Namun nilai
penetrasi mobilephone subscriber,
secara umum, dapat diartikan bahwa setiap orang di Indonesia bahkan di dunia,
telah menjadi pengguna telepon seluler.
Jika
rasio antara jumlah mobilephone
subscriber (SIM card yang beredar) dibanding jumlah populasi telah mencapai
nilai 1:1, bagi operator ini menandakan akan terjadinya fenomena market
saturation. Lalu kepada siapa lagi operator harus menjual SIM card mereka?
***
M2M – The Future Market
Kebutuhanakan
konektivitas kini tidak hanya dimiliki oleh manusia sebagai end-user, tapi konektivitas telah
menjadi kebutuhan antar perangkat atau mesin untuk saling berkomunikasi satu
sama lain.
Pada tahun 2020, akan ada 50 miliar perangkat yang saling
terkoneksi kapanpun dan dimanapun, terhubung secara real time. Fenomena ini
akan merubah cara kita dalam berinovasi, berkolaborasi, produksi, pemerintahan,
dan banyak hal lain. Akan ada metode baru dalam bekerja sama, sharing, dan mendapatkan informasi. Dan
cara-cara inovatif dalam melakukan bisnis akan menciptakan efisiensi di segala
sektor, yang berada di luar imajinasi seseorang hari ini.
Di
satu sisi kita telah dapati bahwa penetrasi mobilephone
subscriber telah lebih besar dibanding total jumlah populasi manusia. Di
sisi lain konektivitas antar perangkat atau mesin kini telah menjadi kebutuhan
yag harus dilayani. Dua hal ini memacu operator telekomunikasi untuk terus
ber-inovasi. Machine to Machine Communication (M2M) kini menjadi segmen pasar
baru.
Link Part 1 > TELCO 1.0 – Competitorless
Ditulis nya sudah lama, tapi baru inget dan di-publish pagi ini (22 Des 14)
sambil nunggu si mapinfo ngeload engpar trial LTE..
Salam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar