Kamis, 29 Maret 2012

Takkan Kubiarkan Kau Mati

Selamat malam wahai hari kamis, dan selamat hari kamis wahai malam hari. Apa kabar?
Lelah kah kau? Setelah berjalan, menyusuri tapak kerasnya kehidupan. Kantung matamu tampak sayu, duduk bersama segelas kopi, dan mungkin  hanya itu yang masuk ke perutmu dalam beberapa hari ini, bersama angin jalanan tentunya.

Hari ini kau habiskan siangmu, berjalan demi memperoleh sepucuk tiket, untuk pulang ke kampung halaman. 

Ketika tiga bulan lalu, bersama istri dan lima bulan kandungannya, kau bulatkan tekad untuk merantau ke kota ini, kota yang tampak subur, indah, dan menjanjikan. Tanpa sanak, tanpa saudara. 
Kau niatkan untuk merubah nasibmu, kau beranikan memboyong istri dan calon anakmu. Sayang, aku tak begitu mengerti penggalan tengah cerita cerpen ini, hingga tiba-tiba ada keluarga petani di pinggiran kota yang memberikan sesudut gudang berasnya untuk kau, istri dan calon anakmu tinggali.

Kandungannya makin tua, seiring susahnya mencari sesuap nutrisi bagi si jabang bayi. Dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, dari proyek ke proyek, mungkin jawaban doamu bukan dari situ kawan. Aku tahu kau ingin menangis, ketika kau bercerita pada secangkir kopi, kenapa Tuhan tidak adil. Disaat kau terkatung-katung, disaat kandungannya makin membesar, disaat yang sama orang lain begitu mudah menukar rupiahnya untuk hal-hal tersier bahkan maksiat. 

Suatu sore, istrimu pernah bertanya, tentang rezeki hari ini. Kecamuk dan risau wajahmu sudah mendeskripsikan jawaban itu. Sambil kau peluknya, kau berikan rezeki sebotol air mineral yang berisi air kran wudhu dari surau. 

Jabang bayi itu mulai menendang-nendang, menendang relung hatimu yang paling dalam. Tuhan, kapan akan Kau jawab segala doanya!? Dia bisa saja menjadi pencuri, dari deretan alas kaki di masjid. Sehari, sepasang, dua pasang. Tapi dia sadar, karena semua ini dilakukan semata-mata bagi si calon amal jariyahnya, yang kini tinggal menunggu hitungan minggu hingga saat bahagia itu tiba.

Siang tadi, hanya kaos hitam dan celana jeans lusuh yang tersisa. Beberapa yang lainnya telah kau kurs-kan ke dalam rupah, walau hanya bernilai paling mahal seribu lima ratus. Tapi itu lah yang selalu kau syukuri sebagai rezeki. 

Teringat, beberpa hari yang lalu, instrimu yang selalu sabar mendampingimu, menyampaikan permintaan pertama si jabang bayi. Sebuah pisang.... Ya, hanya sebuah pisang, tapi tak ada serupiahpun untuk dibelanjakan sebuah pisang. Dengan segala rendah dirimu, kau mengemis pisang di sebuah penjaja makanan. Dan dengan segala kesombongan duniawi, kau harus menunggu untuk sepotong pisang busuk, yang dimana kau potong bagian busuknya, dan kau berikan sabagai rezeki bagi mereka berdua. Kau tak bisa berucap kalau itu pisang busuk, maka berucaplah separuh pisang itu telah kau makan, dan separuh lagi kau peruntukan mereka.

Menanyipun tak bisa, alat musik tak ada, hanya mushaf kecil yang selalu ada di tas punggungmu. Kau lantunkan setelah sembayang lima waktumu. Tapi sesuatu yang unik menurutku, entah dari mana, kau pun berpikiran, untuk mengamen dengan lantunan tilawahmu itu. Ku mengerti kecamuk dalam hatimu, untuk menjual lantunan ayat-ayat Tuhan di depan etalase toko. 

"Heh, ke masjid sana, taubat!! Ayat Tuhan bukan untk dijual-belikan!", gertak seorang dengan jidat hitam, gamis, dan jenggot ala sunah Rosul. Yang tiba-tiba menyadarkanmu, kalau munkin caramu itu salah.

Hari ini, sepulang dari stasiun, hanya form pembelian tiket yang kau bawa pulang. Selembar kertas kecil, dengan logo baru PT KAI, akan kau bawa pulang untuk melegakan hati istri dan kandungannya. di form itu tertera tabel nama yang kau tuliskan nama lengkapmu, tabel alamat yang kau isi kampung halamanmu, tabel no telp yang kau kosongi, stasiun kebrangkatan kau tulis Bandung, dan stasiun tujuan kau tulis Malang. Aku ingin menangis, ketika membaca tabel hari dan waktu keberangkatan, yang kau isi dengan lafadz arab, إنشاء الله (insyaAllah), karena hanya dengan izin Tuhan kau, harapanmu agar sang istri dapat melahirkan di kampung halaman bisa terkabul.

Dan cerpen ini belum berakhir kawan, semoga yang sedikit itu bisa membantu. Salutku padamu, perjuanganmu, keteguhanmu, kesabaranmu.

Allah mungkin tidak memberi segala yang kau pinta, tapi Allah memberi segala yang kau butuhkan..
Allah mungkin belum memberi kemudahan, tapi Allah akan memberimu kekuatan dalam menghadapi semua ini.

Minggu pertama pelarian kita; tataplah mataku dan temukan telaga. Susi demam dan terbaring gemetar. Joni gusar dan tangannya terkepal. Miskin takkan membuatnya putus asa. Lapar memaksanya merasa berdaya.
Joni tak gila ketika didengarnya dinding berbisik, pelan berbisik:
curilah roti
curilah roti
Jangan biarkan Susi mati.
Supermarket-supermarket tak pernah sepi. Lihat deret yang selalu tersusun rapi. Waktu terkutuk kadaluarsa di bungkus roti. Supermarket dan busung lapar adu lari.
Aku tak gila ketika didengarnya dinding berbisik, pelan berbisik: curilah roti. Takkan kubiarkan kau mati.
Tak kan kubiarkan kau. - Melancholic Bitch - Propaganda Dinding 

Kisah siang tadi, disebuah warung kopi.
Selamat dinihari, wahai jumat, dan selamat jumat wahai dinihari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar